Bagikan:

JAKARTA -Twitter kalah dalam persidangan di Prancis. Platform microblog itu harus mengungkapkan rincian tentang apa yang sudah dilakukannya untuk mengatasi ujaran kebencian online di Prancis.

Keputusan itu keluarkan oleh pengadilan banding di Paris pada Kamis, 19 Januari sekaligus memberikan kemenangan kepada kelompok-kelompok advokasi yang mengatakan media sosial itu tidak cukup berusaha dalam menghentikan ujaran kebencian di platformnya.

Keputusan tersebut memberikan amunisi kepada juru kampanye di negara lain di Eropa yang menginginkan kontrol yang lebih ketat untuk mencegah penyebaran konten rasis dan diskriminatif di Twitter dan platform media sosial lainnya.

Keputusan itu juga menguatkan putusan di pengadilan yang lebih rendah, tahun lalu, yang memerintahkan Twitter untuk memberikan rincian tentang jumlah, kebangsaan, lokasi, dan bahasa lisan orang yang dipekerjakannya untuk memoderasi konten pada platform versi Prancis.

Keputusan pengadilan yang lebih rendah juga mengharuskan Twitter untuk mengungkapkan dokumen kontrak, administratif, komersial, dan teknis apa pun yang akan membantu menentukan sumber daya keuangan dan manusia yang telah dikerahkan untuk memerangi ujaran kebencian online di Prancis.

Pengadilan banding juga mengatakan pihaknya mengkonfirmasi, secara penuh, putusan pertama dan mengatakan Twitter harus membayar ganti rugi 1.500 euro (Rp24321271) kepada masing-masing dari enam penggugat. Salinan putusan tersebut sudah dilihat oleh Reuters.

Seorang juru bicara Twitter mengatakan prioritas utama perusahaan mereka saat ini adalah untuk memastikan keselamatan orang-orang yang menggunakan platformnya. Ia menambahkan bahwa mereka sedang meninjau keputusan pengadilan ini. Perusahaan AS ini juga menolak mengomentari implikasi keuangan dan operasional dari keputusan tersebut.

Namun, para juru kampanye sangat gembira. Enam kelompok lobi yang menggugat Twitter telah menyatakan bahwa hanya sebagian kecil dari pesan kebencian yang dihapus dari platform tersebut 48 jam setelah mereka diberi sinyal.

"Saya bosan dengan pemerintahan ini di mana segala sesuatu diperbolehkan dan di mana 'dilarang untuk dilarang'," kata Marc Knobel, presiden J'Accuse! (I Accuse), salah satu kelompok, mengacu pada slogan terkenal yang tersebar di tembok Paris selama protes tahun 1968. "Kita harus menghentikan delusi ini: tidak semuanya harus diizinkan di masyarakat kita."

Putusan itu membedakan Prancis dari negara-negara seperti Denmark, Inggris, dan Amerika Serikat, karena undang-undang anti-rasisme yang ketat di negara itu memungkinkan litigasi semacam itu berhasil.

Di Prancis, rasisme dan anti-Semitisme tidak dianggap sebagai opini yang dapat dipegang publik, tetapi dianggap sebagai pelanggaran.

Raksasa teknologi global juga telah dituduh melakukan terlalu sedikit untuk mengatasi penyalahgunaan online. Peraturan UE yang akan datang, Digital Services Act (DSA), dijadwalkan untuk menyediakan prosedur penghapusan konten ilegal yang lebih cepat, seperti ujaran kebencian.

Mei tahun lalu, Inggris mengatakan undang-undang baru yang mereka rancang akan membuat perusahaan media sosial didenda hingga 10% dari omset atau 18 juta pound (Rp 350 miliar) jika mereka gagal memberantas pelanggaran online seperti kejahatan rasisme. Bahkan manajer senior di perusahaan media sosial dapat menghadapi tuduhan tindakan kriminal, jika tak mampu patuhi UU yang tengah dirancang tersebut.