JAKARTA - "Selalu ada setetes DNA campursari dalam diri setiap orang". Pernyataan ini mungkin terkesan berlebihan, tetapi kami bicara sesuai kenyataan.
Indonesia, khususnya dunia musik, kembali berduka setelah pada Selasa, 5 Mei pagi, penyanyi campursari kenamaan Didi Kempot mengembuskan napas terakhirnya di RS Kasih Ibu Solo akibat mengalami henti jantung. Lord Didi - salah satu julukannya - sedang berada di puncak karier dan digandrungi semua lapisan pecinta musik.
September tahun lalu, kami menyaksikan langsung bagaimana daya magis seniman berlabel The Godfather Of Broken Heart ini. Mengelar konser di Livespace SCBD, Jakarta, penyelenggara sama sekali tidak menuliskan nama Didi Kempot di dalam media publikasi mereka. Cuma foto ilustrasi wajah, julukannya, serta tajuk konser: Konangan Concert.
Mau tahu apa hasilnya? Tiket sold out sejak masih dalam masa pra-penjualan. Penonton yang hadir pun bukan cuma kalangan akar rumput yang kerap menjadi stigma musik campursari, melainkan generasi milenial dengan gaya pakaian gaul dan aroma wangi parfum.
Setiap kali lagu Didi Kempot berkumandang di atas panggung - entah itu Sewu Kuto, Ambyar, Banyu Langit atau Pamer Bojo - selalu mendapat sambutan luar biasa dari Sobat Ambyar (sebutan fans Didi Kempot). Dengan kur dan tarian, penuh penjiwaan, dari awal sampai akhir. Bahkan ada yang sampai menangis saking menghayati barisan lirik yang dituturkan sang idola.
Melalui karya-karyanya, Didi Kempot mampu menembus waktu dan ruang, melintasi genre dan usia, serta mendobrak pengotakan genre musik yang masih melekat pada diri sebagian manusia. Di antara ribuan penggemar fanatiknya, tersempil beberapa orang pecandu musik rock dan metal yang kami kenal.
BACA JUGA:
Ada penyuka King Diamond, Cradle of Filth, dan Suicidal Tendencies. Ada pecinta Metallica dan Slipknot. Juga ada kami yang memuja Guns N' Roses, Megadeth, dan Foo Fighters. Kami hadir bukan karena ikut-ikutan, tapi karena penasaran dengan aura seorang Didi Kempot yang diklaim mampu membuat para penonton terhipnotis.
Bukti lain terpampang nyata. Duo elektronika asal Bandung, Feel Koplo, yang tampil sebagai pembuka konser hanya bertahan membawakan 2-3 lagu saja. Para penggemar Didi Kempot sangat militan. Mereka meneriakan kata 'turun!' berulang kali lantaran tak sabar untuk melihat Sang Godfather. Ya, Feel Koplo salah panggung.
Beberapa hari sebelumnya. Usai Didi Kempot tampil bareng salah satu band jazz Tanah Air dalam sebuah pentas, akun Instagram band jazz ini digeruduk Sobat Ambyar lantaran tidak terima lagu-lagu campursari direcoki musik jazz. Ini bukan masalah pengotakan genre musik, tapi lebih kepada nilai substansial lagu-lagu patah hati Didi Kempot kehilangan rohnya dan tidak lagi bikin ambyar.
Popularitas seorang Didi Kempot menunjukkan bahwa sekota-kotanya kita, tetap ada setetes DNA campursari sebagai bukti jati diri kita. Dengan karya dan kehendak jiwanya, pria kelahiran Solo 53 tahun lalu ini menunjukkan sekaligus mengajak kita untuk tidak lupa dari mana kita berasal.
Melalui seorang Didi Kempot, terbukti seni itu tidak mengenal kelas. Jika resonansinya kuat, artinya banyak hal yang secara subliminal familier dengan diri kita. Boleh setuju atau tidak.