JAKARTA - Sosok Abdurrahman Wahid tak cuma menarik ketika berada di atas takhta. Pria yang akrab disapa Gus Dur justru sudah menakjubkan sejak menimba ilmu di luar negeri. Kairo (Mesir) maupun Baghdad (Irak). Ia tak seperti anak kiai umumnya yang melulu belajar agama. Aktivitasnya banyak diisi dengan langgam menikmati hidup. Memasak salah satunya. Di Baghdad, kari kepala ikan jadi ajiannya. Sajian makanan buatannya acap kali mengundang pujian: Kelezatannya tiada dua. Padahal, ada kisah lucu dibaliknya.
Belajar agama Islam di Mesir adalah mimpi banyak orang. Termasuk Gus Dur. Ia yang haus akan ilmu pengatahuan ingin mencicipi rasanya berkuliah di Universitas Al-Azhar. Mimpi itu kemudian terwujud berkat mendapat beasiswa dari Kementerian Agama. Ia pun secara paripurna berangkat ke Kairo, Mesir pada 1964. Momentum itu dimanfaatkan betul-betul oleh Gus Dur. Segala macam materi perkuliahan terkait nilai-nilai Keislaman modern diserapnya. Ilmu itu dianggapnya dapat memajukan bangsa dan negara.
Awalnya Gus Dur menikmati sekali aktivitas kuliah. Namun, lama-kelamaan, Gus Dur menemukan kejenuhan. Ia kecewa dengan sistem pendidikan di Al-Azhar. Universitas kesohor itu seraya memperlakukan Gus Dur bak pemula. Ia diminta untuk mengikuti pelajaran bahasa Arab dasar. Lagi pula Gus Dur sendiri telah cukup mahir dalam bahasa Arab sejak bersekolah di Jombang. Kekecewaan lain terliat dari mata kuliah lainnya yang justru mirip dengan pelajaran di pesantren. Ia memberontak. Ruang kuliah tak terlalu dipedulikannya. Ia memilih belajar di luar bangku kuliahan.
“Kepergian Gus Dur belajar ke luar negeri, baik di Timur Tengah maupun di Eropa dan Kanada, tampaknya memberikan pengaruh signifikan bagi kesadaran akan Islam yang lebih terbuka dan membumi. Di kampus Al-Azhar, Gus Dur tidak terlalu aktif kuliah di kelas dengan alasan hampir semua mata kuliah yang diajarkan di kampus Al-Azhar sudah dipelajarinya di pesantren ketika di Indonesia. Karena itu, ketika di Mesir, Gus Dur lebih banyak membaca berbagai buku di perpustakaan di luar kampus, khususnya di perpustakaan Kedutaan Amerika Serikat di Kairo.”
“Hobi membaca komik dan novel, menonton film, dan mendengarkan musik klasik juga berlanjut ketika ia berada di Kairo. Keluasan pergaulannya membuat Gus Dur cukup kenal dekat dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan para tokohnya. Ketika masih sangat muda di awal-awal tumbuhnya Ikhwanul Muslimin, Gus Dur adalah seorang pengagum tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin dan menjadi pengikut organisasi tersebut dari Jombang,” ungkap Ahmad Suaedi dalam buku Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bhineka (2018).
Ruang kampus Al-Azhar dinilai tak terlalu menantang. Ruang belajar yang jadi kegemaran Gus Dur di Kairo berubah dari ruang kelas menjadi ruang Perpustakaan Kedutaan Besar Amerika di mesir dan bioskop. Ia jadi lebih mudah mendapatkan buku-buku yang dikehendakinya. Pun dalam hal perfilman.
Ia tak susah menemukan film Rusia, Eropa Timur, dan tentu saja Prancis. Gus Dur sangat menyukai film dari Negeri Mode itu. Film Prancis dipandangnya memiliki pola penceritaan dan sinematografi yang jujur dalam mengungkapkan sisi khas kemanusiaan. Beberapa diantaranya seperti kebencian, seks, hingga kelicikan.
“Selama di Kairo, gairah membawa Gus Dur semakin tinggi, lebih-lebih buku yang diinginkan mudah didapat di perpustakaan. Bagi Gus Dur, Kairo merupakan tempat yang sibuk dengan kehidupan sastra, pencarian pengetahuan, dan ide-ide baru.”
“Selain itu Gus Dur mencari toko-toko buku di manapun yang penting. Gus Dur dapat memperoleh buku-buku lainnya yang dikehendaki. Lebih lanjut, Gus Dur juga sering mengikuti seminar-seminar keilmuan agama yang dianggapnya menarik dan menonton film-film Eropa,” tulis Nur Kholik dalam buku Interkoneksi Islam Liberal & Pendidikan Islam Abdurrahman Wahid (2020).
Baghdad dan Kari Kepala Ikan
Kekecewaannya terhadap sistem pendidikan formal di Mesir berlanjut. Kekecewaan itu makin bertambah karena gaya pemerintahan dari Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser (1956-1970) otokratik. Gus Dur jadi tak betah berada di Mesir. Ia memilih untuk tak melanjutkan kuliahnya pada 1966. Ia pun menangkap peluang untuk banting stir menempuh pendidikan di Universitas Baghdad, Irak.
Pilihan itu karena Baghdad menjanjikan kebebasan dan gaji yang lebih tinggi dibanding di Kairo. Gus Dur pun dapat berkuliah sembari bekerja di Baghdad. Sesuai harapan, Gus Dur lebih banyak bersentuhan dengan kegiatan intelektual ketika berada di kampus. Ia pun terpacu menyelesaikan pendidikan formalnya. Ia pun belajar lebih keras dan teratur dibanding biasanya.
“Setelah gagal di Kairo, Gus Dur memperoleh tawaran beasiswa dari Universitas Baghdad. Selama di Kairo, Gus Dur telah merasakan kehidupan yang diakuinya memberikan manfaat bagi pengembangan wawasan intelektualnya. Ia pun berharap hal yang serupa terjadi di Baghdad.”
“Universitas Baghdad sejak tahun 1960 telah berubah dan mengikuti standar Eropa. Banyak akademisi yang berlatar balakang pendidikan Eropa. Pola pendidikan Eropa tulah yang diharapkan oleh Gus Dur di baghdad, sehingga mahasiswa tidak sekadar menghafal pelajaran saja, tapi diharuskan membaca dan membuat tulisan/makalah,” terang Munawar Ahmad dalam Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis (2010).
Alhasil, Gus Dur masuk kelas lebih teratur. Di samping itu, kehidupan intelektual di Baghdad begitu menjanjikan. Gus Dur pun memilih tinggal bersama 19 orang mahasiswa Indonesia lainnya. Mereka menyewa sebuah vila. Sekalipun baru kenal, Gus Dur cenderung tak sukar mendapatkan teman. Ia memiliki banyak daya tarik. Jago masak, salah satunya. Terutama dalam membuat kari kepala ikan.
Para mahasiswa –termasuk Gus Dur—secara bergiliran menyiapkan makanan harian setiap 20 hari sekali. Gus Dur selalu jadi bintangnya. Sajiannya kari kepala ikan jadi yang istimewa dan ditunggu-tunggu.
Akan tetapi, pilihannya memasak kari kepala ikan bukan sepenuhnya kebetulan. Saban hari, Gus Dur selalu menjumpai sebuah toko yang menjual ikan dekat tempat tinggalnya. Gus Dur sering memperhatikan bahwa orang Irak tak makan kepala ikan. Kepala ikannya dibuang begitu saja atau diberikan kepada hewan peliharaan.
Setelahnya, Gus Dur mendatangi penjual ikan. Ia meminta langsung 20 kepala ikan kepada penjual ikan. Penjual pun dengan senang hati memberikannya secara gratis. Tapi Gus Dur sering kali memberikan beberapa uang logam sebagai bentuk tanda jadi. Penjual ikan skeptis. Gus Dur ditanyai apa peruntukan kepala-kepala ikan itu. Ia menjawab untuk diberikan kepada anjing peliharaannya. Untuk 20 anjing peliharaan saya, katanya.
“Akan tetapi kemudian, pada suatu hari mahasiswa-mahasiswa ini menerima tamu resmi dari Indonesia. Kedutaan besar Indonesia mengusulkan agar diadakan jamuan makan khusus di rumah tersebut. Lalu, para mahasiswa ini, dengan gaya khas Indonesia yang sukar ditiru oleh orang lain, membentuk sebuah panitia dan mulai mengadakan persiapan.”
“Salah seorang teman Gus Dur diberi tugas memasak dan ia ingin menyiapkan hidangan ikan di samping hidangan daging kambing dan daging sapi yang telah direncanakan sebelumnya. la pergi ke toko yang biasa dikunjungi oleh Gus Dur. Si pemilik toko mengenali orang ini dan berkomentar sambil tertawa: Temanmu sangat aneh. Kenapa? Ucap teman Gus Dur. Ia memelihara banyak anjing, kata penjual ikan. Bayangkan, 20 anjing! Mahasiswa ini pulang ke rumah dan menumpahkan kemarahannya kepada Gus Dur,” tutup Greg Barton dalam buku Biografi Gus Dur (2003).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.