Bagikan:

JAKARTA - Pada 12 November 1991, aksi damai saat menuju pemakaman Santa Cruz yang berada di Dili, Timor Timur, diwarnai dengan peristiwa berdarah. Lebih dari 271 orang Timor Timur tewas ditembak oleh pasukan Indonesia. Peristiwa itu memicu gerakan pro-kemerdekaan Timor Timur lebih masif.

Sebelum peristiwa di Pemakaman Santa Cruz, suasana politik di Dili meningkat atau tepatnya menjelang kunjungan delegasi parlemen Portugis yang dijadwalkan pada 4 November 1991. Dalam sebuah wawancara yang Publico pada Oktober 22 1991, Uskup yang terkenal di Dili, Carlos Ximenes Belo, mengatakan pihak berwenang Indonesia memperingati orang-orang Timor Timur. Mereka diimbau untuk tidak ambil bagian dalam demonstrasi atau tidak mengatakan apa pun kepada anggota delegasi tentang kemerdekaan.

Jika mereka tetap melakukannya, mereka akan dibunuh setelah para delegasi pergi. Belo menyerukan kekuatan internasional untuk memantau situasi setelah para delegasi pergi.

Namun kunjungan delegasi itu "ditangguhkan" oleh pemerintah Portugis pada 26 Oktober 1991. Hal tersebut dikarenakan pihak Indonesia keberatan seorang jurnalis Australia, Jill Jolliffe, untuk ambil bagian dalam kontingen pers Portugis. Jill Jolliffe dianggap mendukung perlawanan di Timor Timur, Fretilin.

Mengutip laporan Asia Watch, banyak sumber mengatakan keputusan untuk membatalkan kunjungan delegasi Portugal ke Timor Timur membuat banyak aktivis muda di Dili merasa frustrasi. Mereka memutuskan untuk menggunakan kunjungan Pieter Kooijmans, Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan yang berencana mengunjungi Timor Timur pada 10-12 November sebagai titik fokus demonstrasi. Jika perlawanan tidak dapat menggunakan anggota parlemen Portugis dan jurnalis pendamping untuk menyampaikan pesan mereka, itu akan fokus pada tokoh internasional lainnya.

Pada 27 Oktober 1991, tepatnya saat diumumkan bahwa kunjungan dari delegasi Portugal dibatalkan, Gereja Moteal Dili, sebuah gereja yang digunakan sebagai tempat perlindungan oleh beberapa aktivis, menyelenggarakan misa seperti Minggu biasanya. Namun sekitar tengah malam, masih menurut laporan Asia Watch, terdengar suara sepeda motor dan pada 28 Oktober 1991 pukul 1 dini hari, sekelompok orang Timor dengan sepeda motor melempari batu ke arah gereja dan meneriakkan hinaan.

Makam Sebastiao Gomez (Foto: Wikimedia Commons)

Beberapa pemuda yang tinggal di sekitar gereja lalu melakukan perlawanan. Perkelahian pecah dan tak lama setelah tentara dan polisi tiba, mereka melepaskan tembakan dan menyerbu gereja. Salah satu aktivis Sebastiao Gomez, ditembak mati di luar gereja.

Salah satu pria di sisi lain, Namanya Afonso Henrique, ditikam sampai tewas. Setidaknya dua orang lainnya dalam bentrokan itu terluka parah ketika militer melepaskan tembakan.

Penembakan 12 November

Dua minggu setelahnya, misa untuk Sebastiao Gomez digelar di Gereja Moteal Dilli. Misa dihadiri oleh ribuan umat Katolik, dimulai pada pukul 6 pagi dan selesai pada pukul 7 pagi. Usai misa, orang-orang keluar gereja sambil membawa spanduk pemimpin gerakan pro-kemerdekaan Xanana Gusmano. Mereka terus meneriakkan seruan kemerdekaan dan berjalan menuju Pemakaman Santa Cruz, tempat di mana Sebastiao Gomez dimakamkan.

Perjalanan menuju Santa Cruz tetap tertib, namun terlihat militer Indonesia dan melihat itu sebagai aksi demonstrasi pro-kemerdekaan dan dengan demikian, demonstrasi menentang Indonesia. Saat prosesi menuju pemakaman Santa Cruz, ratusan tentara Indonesia menembaki para pengunjuk rasa damai.

Menurut laporan organisasi Democracy Speaks, tiga jurnalis internasional menyaksikan dan merekam pembantaian tersebut. Para jurnalis termasuk dua orang Amerika, Amy Goodman dan Allan Nairn, keduanya dipukuli habis-habisan oleh militer Indonesia selama bentrokan. Ketiganya berhasil menyelundupkan rekaman tersebut ke luar negeri dan membagikan rekaman tersebut kepada masyarakat internasional, yang memicu kecaman internasional terhadap Indonesia.

Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Javier Perez de Cuellar menyatakan bahwa ia menyesali peristiwa yang memakan banyak korban itu dan meminta laporan dari Pieter Kooijmans, Pelapor Khusus yang ditunjuk oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB yang berada di Dili saat pembunuhan terjadi. Menteri Luar Negeri Kanada Barbara McDougall, mengumumkan bahwa program bantuan Kanada senilai 52 juta dolar AS untuk Indonesia akan ditinjau kembali. Kongres Amerika Serikat (AS) memangkas anggaran program pelatihan IMET untuk militer Indonesia, meski penjualan senjata ke ABRI tetap berjalan.

Mengutip Tirto, pemerintah Indonesia menjawab kecaman internasional dengan mengubah struktur kepemimpinan militer di Timor Timur. Pada 1992, Mabes AD melalui Dewan Kehormatan Militer (DKM) memecat Panglima Daerah Militer (Pangdam) IX Udayana, Mayjen Sintong Panjaitan, Pangkalakops Timor berserta seluruh Asisten Pangkolakops, Danrem 164/Wira Dharma, Dandim 1827/Dili dicopot dari jabatannnya. Meski demikian, operasi militer di Timor Timur masih digelar.

Pada 30 Agustus 1999, Timor Timur mengadakan jajak pendapat atau referendum. Referendum memiliki keputusan akhir untuk lepas sepenuhnya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebanyak 78,5 persen masyarakat Timor Timur memilih kemerdekaan dari Indonesia. Referendum tersebut juga disebut untuk mengakhiri konflik yang terjadi di Timor Timur.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

SEJARAH HARI INI Lainnya