Bagikan:

JAKARTA - Tradisi mengisap rokok memiliki sejarah panjang di Nusantara. Dalam catatan, rokok mulai dikonsumsi kaum bumiputra jauh sebelum kedatangan Belanda. Kehadiran legenda Roro Mendut jadi buktinya. Rokok tak berbalut stigma saat itu. Ia sempat jadi obat dan dinilai menguntungkan. Terlihat dari kemampuan industri rokok bertahan dihantam badai resesi era 1930-an. industri rokok dianggap Belanda laksana “juru selamat” ekonomi Hindia-Belanda.

Tak dikethaui pasti kapan budaya rokok mulai digemari oleh kaum bumiputra. Namun jika merujuk kepustakaan lawas, rokok mulai marak dikenal sejak tahun 1600-an. Artinya, kaum bumiputra telah akrab dengan tanaman tembakau jauh sebelum kolonialisme Belanda.

Rokok kala itu banyak digunakan sebagai obat, bahkan pelengkap ritual. Meski begitu, ketika itu rokok bukan berupa barang dagangan yang menarik seperti sekarang kendati peminatnya cukup banyak, dari bangsawan hingga jelata.

Penguasa Mataram yang fenomenal, Sultan Agung (1613-1645) dikenal sebagai chain smoker (perokok berat). Sedang jejak kaum bumiputra lainnya dalam mengonsumsi rokok banyak hadir dalam catatan-catatan penjelajah Nusantara. Gambaran lain yang paling paling kuat terkait kegemaran merokok kaum bumiputra dapat ditelurusi dari kemunculan legenda-legenda era Sultan Agung. Roro Mendut, misalnya.

“Kisah romantis yang terkait dengan rokok di masa pemerintahan Sultan Agung adalah kisah Roro Mendut-Pranacitra. Karena tak bersedia menjadi selir Tumenggung Wiraguna yang telah berusia tua itu, Roro Mendut dihukum membayar pajak tiga real sehari.”

“Untuk memenuhi denda yang begitu besar, Roro Mendut berusaha membuat rokok, sehingga akhirnya bertemu dengan Pranacitra yang muda dan rupawan. Sepasang sejoli saling jatuh cinta, namun akhirnya Pranacitra dibunuh oleh Wiraguna, dan Roro Mendut pun bunuh diri,” ungkap J.A. Noertjahyo dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Bumiputra merokok (Sumber: Geheugen.delpher.nl)

Masuknya Belanda ke Nusantara memengaruhi legitimasi budaya merokok di Nusantara. Tapi, rokok yang digemari oleh orang Belanda bukan rokok ala Nusantara, yang sederhana dengan kelobot jagung sebagai pembungkusnya. Orang Belanda menyukai merokok dengan pipa.

Kegemaran itu karena kebiasaan merokok di kalangan serdadu Belanda dapat menghindarkan mereka dari ragam penyakit tropis. Semenjak itu, orang belanda mempercayai bahwa rokok laksana obat mujarab. Kepercayaan rokok sebagai obat juga dianut oleh kaum bumiputra, yang muasalnya berawal dari seorang bumiputra bernama Haji Djamari.

Ia dikenal sebagai pionir yang merintis terciptanya rokok kretek sekitar akhir abad ke-19. Rokok kretek tak sengaja ditemukan oleh Haji Djamari dengan menambah cengkeh ke dalam racikan rokoknya. Tak disangka rokok racikannya dapat mengurangi sakit pada bagian dada Haji Djamari yang sebelumnya sakit.

“Demikianlah daya tangkal alkohol terhadap penyakit jelas terbukti! Pencegahan lain ialah merokok. Masa itu adalah zaman emas ketika cerutu Belanda yang baik dijual seribu batang tiga dolar, dan bahkan cerutu Havana hanya berharga 10 dolar per seribu batang. Tapi orang Batavia lebih suka rokok pipa daripada cerutu.”

“Mereka merokok pipa ketika menghadiri upacara pemakaman dan ketika naik kuda dalam parade sebagai pengawal kota Batavia yang penuh kebanggaan, dan tentu saja mereka merokok pipa ketika duduk malam-malam di depan rumah masing-masing menikimati udara ‘segar’ dari kanal,” Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2018).

Menyelamatkan Hindia-Belanda dari resesi

Perlahan-lahan rokok mulai merebut pasar sebagai barang dagangan populer. Kemunculan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) 1870 hingga politik etis (1901-1942) jadi muasalnya. Hindia-Belanda lalu menjadi pengekspor komoditas pertanian dan bahan mentah yang kesohor. Tembakau adalah salah satu produknya.

Kehadiran Undang-Undang itu membuat sederet pengusaha rokok (Belanda,China, dan bumiputra) muncul ke permukaan. Mereka mencoba bertarung di industri rokok Hindia-Belanda. Namun, persaingan itu sempat menurun ketika badai resesi ekonomi global menimpa Hindia-Belanda pada 1930-an.

Dampaknya tak saja dirasakan oleh pemain besar di industri rokok – dari rokok putih hingga kretek, tapi juga turut dirasakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sederet sektor penting yang menjadi primadona “rekening gemuk” Belanda berkurang. Ratusan ribu tenaga kerja pun jadi pengangguran. Kondisi itu bahkan hadir hampir di seluruh pelosok negeri.

“Momentum itu apa apa yang dalam sejarah disebut: Depresi Ekonomi Tahun 1930, pada saat harga-harga produk perkebunan dunia merosot tajam di pasar internasional. Banyak di antaranya harus menutup usahanya atau dinyatakan pailit oleh pemerintah.”

“Ratusan ribu tenaga kerja di sektor itu harus kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya. Mereka harus kembali ke desa membangun nasibnya sendiri dengan potensi yang ada di desa masing-masing dan juga keterampilan, dan pengalaman yang mereka miliki,” ujar Sri Margana dkk dalam buku Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya (2014).

Resesi ekonomi yang dikenang sebagai zaman meleset (malaise) turut memukul industri rokok. Pengusaha-pengusaha rokok putar otak demi mencari solusi. Ada yang mengurangi kualitas cengkeh, tembakau, hingga pegawai.

Penjual rokok di Hindia-Belanda (Sumber: Geheugen.delpher.nl)

Semua itu dilakukan sebagai bentuk siasat supaya tetap eksis. Sekalipun kualitas rokoknya menurun, produknya tetap digemari oleh segenap konsumennya. Fakta itu menjadikan industri rokok sebagai sektor yang paling tahan banting menghadapi resesi. Industri rokok jadi paling paling cepat bangkit ketika diterpa resesi.

Belanda pun tak tinggal diam. Penjajah mulai mencium lebih jauh dari nilai ekonomis yang ditawarkan oleh industri rokok. Bagi Belanda, industri rokok langsung dikultuskan sebagai juru selamat. Apalagi di Kudus, Jawa tengah telah berdiri sebanyak 165 pabrik rokok, termasuk pabrik rokok Bal Tiga yang dimiliki oleh “Raja Kretek” Nitisemito.

Setelahnya, pemerintah kolonial Belanda menjadikan industri rokok sebagai target pajak utama untuk menutupi kerugian yang dialami selama resesi. Faktor utama yang dilirik oleh Belanda karena jumlah produksi rokok Nusantara.

Baik rokok kretek maupun rokok putih cukup menjanjikan pada 1931. Rokok putih mencapai Rp7 jutaan batang per tahun Sementara, rokok kretek mencapai Rp6 jutaan per tahun. Perbedaan angka itu jadi bukti bahwa persaingan antara rokok putih dan kretek telah mengakar sejak di bawah panji pemerintah kolonial Belanda.

“Pemerintah kolonial Belanda ambil sikap, karena sejak tahun 1925 di Cirebon perusahaan patungan Inggris dan Amerika Serikat sudah membangun pabrik rokok putih BAT (British-American Tobacco) di Cirebon, juga pada tahun 1928 membangun pabriknya di Surabaya.”

“Belanda pun ambil sikap dan membedakan cukai produk rokok putih dan asli ini, dengan mengeluarkan Staadsblad No 427 tahun 1935 – mengatur soal harga eceran minimum rokok putih agar tidak menekan industri rakyat kecil,” tutup Rudy Badil dalam kata pengantar buku Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya (2011).

*Baca Informasi lain soal MASA PENJAJAHAN BELANDA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya