JAKARTA - Restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk senilai 9,8 miliar dolar AS atau Rp139 triliun menjadi opsi alternatif penyelamatan yang dipilih pemerintah. Namun, restrukturisasi utang Garuda Indonesia tidak semudah BUMN lainnya seperti PTPN hingga Waskita Karya.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengakui bahwa restrukturisasi utang emiten berkode saham GIAA itu tercatat kompleks jika dibandingkan dengan utang BUMN lainnya. Misalnya restrukturisasi utang PT Perkebunan Nusantara III (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, hingga PT Waskita Karya (Persero).
Lebih lanjut, Tiko sapaan akrabnya mengatakan, restrukturisasi utang ke tiga perusahaan pelat merah tersebut cukup mudah jika dibandingkan dengan Garuda Indonesia. Hal ini karena kreditur ketiga BUMN itu merupakan kreditur lokal yang masih bisa diajak negosiasi.
"Ini beda sekali dibandingkan dengan restrukturisasi PTPN yang relatif bisa kita kerjakan secara nasional dan krediturnya semua ada di lokal sehingga terkontrol di dalam negeri," ujarnya dalam rapat dengan Komisi VI DPR, dikutip Rabu, 10 November.
Sementara Garuda, kata Tiko, krediturnya 70 persen merupakan kreditur asing. Karena itu, dalam proses restrukturisasi utang Garuda pihaknya tidak menggunakan sistem out of court atau negosiasi satu per satu.
Seperti diketahui, Garuda Indonesia sedang melakukan restrukturisasi utang senilai 9,8 miliar dolar AS dengan para kreditur dan lessor. PTPN, Waskita Karya dan Krakatau Steel berbeda dengan Garuda. Sebab, lessor Garuda yang jumlahnya mencapai 32 entitas itu tersebar di beberapa negara.
Menurut Tiko, jika menggunakan jalur negosiasi satu per satu, Garuda memerlukan waktu lama untuk mengeluarkan masalah utang-utangnya. Sementara Garuda butuh waktu yang cepat.
BACA JUGA:
"Sebenarnya Garuda ini butuh cepat. Kalau tidak cepat, dalam 3-6 bulan pesawat bisa di-grounded. Sekarang beberapa pesawat di-Restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk senilai 9,8 miliar dolar AS atau Rp139 triliun menjadi opsi alternatif penyelamatan yang dipilih pemerintah. Namun, restrukturisasi utang Garuda Indonesia tidak semudah BUMN lainnya seperti PTPN hingga Waskita Karya. Karena ketidakmampuan bayar," jelasnya.
Lebih lanjut, Tiko mengatakan restrukturisasi in-court memiliki berbagai dampak positif titik di antaranya upaya in-court mampu mengikat seluruh kreditur Garuda. Menurut Tiko, langkah ini juga akan memberikan perseroan kemampuan untuk mengakhiri atau melakukan negosiasi ulang perjanjian sewa yang memberatkan. Lalu, rencana perdamaian pun tidak perlu disetujui oleh seluruh kreditur.
Meski begitu, kata Tiko, arti ini memiliki efek seperti kebutuhan biaya yang besar. Garuda juga menghadapi potensi risiko besar, jika rencana perdamaian Garuda tidak disetujui oleh kreditur maka ada kemungkinan pailit.
"Jadi bukan pemerintah ingin memainkan Garuda. Pemerintah ingin mencari solusi in-court tujuan untuk homologasi," tuturnya.