Bagikan:

JAKARTA - Kabar meningkatnya jumlah pasien anak mengidap pneumonia menjadi perbincangan di lini masa Twitter. Tak sedikit warganet yang kembali paranoid terhadap penyebaran COVID-19. Pertanyaannya, mengapa walaupun vaksin sudah di atas 90 persen, herd immunity belum juga terjadi?

Kabar ini bersumber dari unggahan pemilik akun Twitter @desperadro. Dia mengaku bekerja di salah satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jakarta.

"Di RSUD mendadak lagi banyak banget pasien anak dengan pneumonia sampai ruangan pneumonia-nya penuh. Pertanda kita udah mulai lengah nih dengan social distancing dan prokes," tulis @desperadro.

Memang akun itu tak mengatakan semua kasus pneumonia berkaitan dengan COVID-19. Tapi berdasarkan aturan medis, pasien pneumonia harus dicurigai sebagai COVID-19 sampai hasil tes PCR mereka negatif.

"Semua pneumonia anak di kala pandemi sampai hasil PCR keluar negatif harus dicurigai COVID-19. Sehingga tetap butuh kewaspadaan," twitnya.

Paranoid COVID-19

Saat tulisan ini dibuat twit @desperadro sudah diretweet sebanyak 8,6 ribu kali dan dilikes 32 ribu kali. Sementara itu tak sedikit warganet yang merasa khawatir COVID-19 kembali menyebar luas.

Pemilik akun @imandangodaan misalnya, mengatakan sudah empat minggu rumah sakit tempat dia bekerja tak merawat pasien COVID-19. "Eh pagi ini pecah telor ada yang masuk. Tetap patuhi prokes ya."

Sementara itu, @andikprayog3 dalam komentarnya mengaku cemas ketika membaca twit tentang COVID-19. "Kenapa ya setiap baca twit COVID-19 nafas langsung enggak beraturan."

Beberapa netizen juga menyoroti terkait kebijakan pembelajaran tatap muka bagi anak SD yang notabene belum mendapat vaksin. "Lagi emang aneh banget juga orang yang divaksin umur 12-17 tahun, yang masuk PTM anak SD," tulis @ranniafrs.

"Titip pesan buat guru-guru yang baca, jangan lengah ya. Jadi satpamnya prokes anak-anak pada setiap ruangan kelas. Jangan terbuai dn harus tegas," kata pemilik akun @_anjar.

Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman menjelaskan mengapa pneumonia berkaitan erat dengan COVID-19 meski belum tentu. Pertama-tama ia menjelaskan bahwa gejala kedua penyakit ini memang mirip.

"Kalau pneumonia itu kan radang paru. Yang antara lain ditandai dengan demam tinggi, sesak, batuk. Karena kantung udara yang di paru terisi cairan. Bisa karena infeksi bakteri atau pun virus, salah satunya virus yang menyebabkan COVID-19," jelas Dicky kepada VOI.

"Oleh karena itu untuk memastikannya perlu pemeriksaan tes PCR tersebut. Selain dari pemeriksaan toraks," ujar Dicky.

Ilustrasi vaksin (Sumber: Unsplash)

Kabar baik

Memang sudah beberapa minggu ini tren kasus COVID-19 terus turun. 24 Oktober kemarin, rata-rata kasus COVID-19 dalam tujuh hari tercatat sebanyak 752 orang. Jumlah ini jauh lebih kecil ketimbang angka rata-rata tujuh hari seminggu sebelumnya atau pada 14 Oktober sebanyak 1.087 kasus.

Di DKI Jakarta sendiri, penambahan tren kasus positif COVID-19 hariannya menurun. 25 Oktober hari ini misalnya, jumlah kasus positif tercatat ada 82 orang. Jumlah ini lebih kecil dari satu hari sebelumnya sebanyak 129 orang.

Sementara jumlah pasien sembuh di Jakarta trennya meningkat. Hari ini, jumlah pasein COVID-19 yang sembuh tercatat sebanyak 167 orang. Jumlah ini lebih banyak dari kemarin yang tercatat sebanyak 129 orang.

Sementara itu per Oktober 2021, vaksinasi COVID-19 dosis 1 Jakarta sudah mencapai 10 juta orang lebih atau 116,9 persen dari sasaran target vaksinasi Jakarta yakni 8.941.211 warga. Dari jumlah 10,5 juta warga yang sudah divaksin, sebanyak 65 persen atau 6,8 juta orang merupakan warga ber-KTP DKI dan 35 persen atau 3,7 juta merupakan warga KTP non-DKI.

Hal ini berarti, masih terdapat sebanyak 2,1 warga DKI Jakarta yang menjadi sasaran vaksinasi, belum mendapatkan vaksinasi sama sekali. Sementara itu total dosis 2 sudah mencapai 7.744.565 orang atau 86,6 persen dengan proporsi 66 persen warga ber-KTP DKI dan 34 persen warga KTP non-DKI.

LUSTRASI/PIXABAY

Kapan herd immunity?

Kendati tingkat penularan sudah jauh berkurang dan vaksinasi Jakarta sudah luar biasa tinggi, bahkan melebihi ambang batas yang disarankan lembaga kesehatan dunia World Health Organizatin (WHO), masyarakat agaknya masih harus waspada. Pasalnya, tingginya vaksinasi belum tentu menjamin terciptanya kekebalan kelompok atau herd immunity.

Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan kita perlu mengelola ekspektasi akan tebentuknya herd immunity. Prosesnya masih panjang kata Dicky.

"Penyakit yang dicoba dikendalikan dengan vaksinasi, memerlukan tahapan cukup panjang untuk mencapai status yang disebut herd immunity. Karena herd immunity memiliki kriteria yang tak hanya mencakup cakupan vaksinasi saja," jelas Dicky kepada VOI.

Walaupun menurut Dicky 96 persen total penduduk Indonesia sudah divaksinasi dua dosis pun, tidak berarti herd immunity sudah tercapai. "Pemahamannya tidak seperti itu. Tapi Jakarta telah mencapai ambang batas vaksin betul."

Dicky menjelaskan ada variabel lain yang menentukan suatu daerah bisa mencapai kekebalan kelompok. Antara lain, angka reproduksi penyebaran virus yang harus sekecil mungkin.

Selain itu, Dicky juga mengatakan masih ada variabel yang sulit dijawab hingga kini, yakni soal efektivitas vaksin itu sendiri. "Satu hal yang belum bisa dijawab adalah efektivitas vaksin untuk mencegah penularan."

"Bahkan negara-negara seperti Israel dan Kanada yang menggunakan vaksin dengan efektivitas tinggi, tetap belum bisa mengklaim capaian herd immunity. Walaupun juga cakupan vaksinasinya sudah jauh di atas 50 persen, itu belum bisa disebut kekebalan kelompok," kata Dicky.

*Baca Informasi lain tentang COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya