Bagikan:

JAKARTA - Ekspor daun kratom ke Belanda menjadi polemik. Pasalnya, daun bernama latin Mitragyna Speciosa ini masuk ke dalam narkotika golongan I, yang katanya lebih berbahaya dari kokain. Lantas kalau sudah dilarang mengapa boleh diekspor?

Pada Rabu 29 September 2021, sebuah jenis tanaman di Indonesia, daun kratom, diekspor ke Belanda. Tanaman tersebut banyak tumbuh di wilayah Kalimantan dan diekspor perdana ke Belanda lewat Bandara Supadio Pontianak.

Daun kratom dipercaya memiliki berbagai khasiat yaitu obat herbal untuk penghilang rasa sakit, gangguan cemas, dan gangguan tidur. Cara penggunaannya juga beragam, banyak yang mengubahnya menjadi bentuk ramuan teh, atau menjadi kapsul, tablet, bubuk, dan cair.

Habitat daun kratom adalah Asia Tenggara dan dibudidayakan terutama di Indonesia, Malaysia, dan Thailand untuk penggunaan medis dan rekreasi. Kratom juga disebut sebagai biak-biak, ketum, atau Maeng Da. Penggunaan Kratom di Asia Tenggara telah didokumentasikan setidaknya selama 150 tahun.

Digambarkan bahwa daun kratom memiliki efek stimulan untuk pekerja berat. Daun kratom segar yang dikunyah memberikan tenaga dan efek analgesik dan relaksasi jika diseduh menjadi teh.

Menurut jurnal bertajuk "Current Perspectives on The Impact of Kratom Use" yang ditulis Charles Veltri dan Oliver Grundmann, daun kratom juga berfungsi sebagai strategi pengganti dan mitigasi opium yang banyak digunakan di Malaysia dan Thailand dari 1830-an hingga 1920-an. Penelitian tersebut juga menyatakan daun kratom digunakan untuk efek antispasmodik, relaksan otot, dan antidiare serta menjadi obat rumahan yang populer di Asia Tenggara.

Ilustrasi menuang teh (Unsplash/Loverna Journey)

Penggunaan kratom dilarang di Malaysia berdasarkan Akta Racun 1952, tetapi penggunaannya tetap tersebar luas karena pohonnya tumbuh secara alami dan ramuan teh tersedia di masyarakat setempat. Sementara Thailand telah mencabut larangan penggunaan, produksi, dan kepemilikan kratom pada 2018 untuk tujuan pengobatan.

Penunjang ekonomi masyarakat

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, salah satu habitat asli daun kratom adalah di Indonesia, tepatnya di Kalimantan. Tidak heran juga banyak masyarakat membudidayakan daun kratom. Daun kratom banyak tumbuh di beberapa wilayah di Kalimantan Barat mengangkat kesejahteraan ratusan ribu petani.

Banyak masyarakat yang menanam pohon kratom di depan rumah atau kebun. Mereka lalu menjual daunnya dalam bentuk basah, kering, remahan, atau dalam bentuk tepung.

Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, Syarief Abdullah Alkadrie mengungkapkan bahwa tanaman kratom mampu mengangkat kesejahteraan ratusan ribu petani di Kalimantan Barat. Apalagi pohon kratom juga dapat menahan abrasi pantai dan sungai tersebut.

"Untuk pendapatan negara, bila diatur dengan baik, akan memberikan pajak dan bea cukai yang cukup besar pula," ujar Abdullah, mengutip Tempo. Namun terdapat masalah lain dari daun kratom.

Diketahui bahwa daun kratom masuk dalam narkotika golongan I.  Daun kratom memiliki zat adiktif empat kali lebih kuat daripada kokain atau ganja. Sejak 2019, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan agar pada 2023 budidaya daun kratom dihentikan dan 2024 penggunaan atau penjualan daun kratom total dilarang.

Bubuk kratom (Sumber: Wikimedia Commons)

Namun Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji mempertanyakan status tanaman kratom yang dinyatakan memiliki zat adiktif empat kali lebih kuat dari ganja. Sutarmidji mengatakan bahwa ada 200 ribu keluarga hidup dari kratom yang banyak diekspor ke mancanegara.

"Saya katakan bahwa orang yang mengonsumsi kraton tidak berhalusinasi, sedangkan ganja pasti berhalusinasi. Bahkan urine orang yang mengonsumsi kraton belum tentu positif," kata dia.

Sutarmidji juga mempertanyakan jika daun kratom benar-benar dilarang, bagaimana nasib pohon kratom yang sudah ada. Terdapat jutaan tanaman kratom termasuk di kawasan Betung Karibun dan Danau Sentarum yang ditetapkan paru-paru dunia oleh UNESCO. Sutarmidji mengatakan bahwa dirinya akan berkirim surat ke Presiden Joko Widodo perihal pentingnya daun kratom bagi perekonomian Kalimantan Barat.

Harus dikaji ulang

Jika melihat permasalahannya, daun kratom tidak lagi hanya tentang ekonomi. Namun banyaknya pohon kratom guna menahan abrasi pantai, sungai, bahkan paru-paru dunia. Jika benar-benar dilarang, akan ada masalah lainnya selain permasalahan ekonomi yaitu kerusakan alam.

Dalam segi hukum, status daun kratom memang berbeda-beda. Saat ini, daun kratom tidak termasuk dalam Permenkes RI Nomor 57 tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika. Daun kratom juga tidak disebut dalam Permenkes RI Nomor 4 tahun 2021 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.

Bahkan, kratom juga menjadi tanaman yang berpotensi di bidang pertanian menurut Kementerian Pertanian. Hal ini dipertegas dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 104 tahun 2020 tentang Komoditas Binaaan Kementerian Pertanian yang memasukan kratom di dalamnya.

Namun dari sisi BPOM, penggunaan daun kratom memang telah dilarang. Hal ini tertuang dalam SK Kepala BPOM Nomor HK 00.05.23.3644 tahun 2004 tentang Pokok Pengawasan Suplemen Makanan.

Kemudian Surat Edaran Bidang Pengawasan Obat Tradisional dan suplemen makanan Nomor HK. 04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna dalam Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan.

Melihat adanya tumpang tindih aturan ini, Pengamat Kebiajak Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan bahwa sebaiknya larangan dari BNN ini dikaji ulang. Kata dia, akan lebih baik jika dibuat aturan tersendiri untuk kelegalan daun kratom. Apalagi, kratom sendiri dipercaya bagian dari hasil pertanian.

"Jadi menurut saya, daun tersebut dimasukkan ke jenis-jenis hasil pertanian. BNN ini kan menganggapnya mengandung narkoba dan bersifat adiktif. (Ada baiknya) dibuat aturan tersendiri," ujar Trubus kepada VOI.

Selain itu, besar kemungkinan daun kratom dijadikan sebagai bagian dari rempah-rempah. Mengingat beberapa tradisi menjadikan daun kratom sebagai obat dan herbal, sama halnya jahe atau kunyit yang juga kerap dijadikan sebagai bahan obat herbal.

"Bisa saja daun kratom ini dimasukkan dalam golongan rempah-rempah. Presiden saja juga mengatakan untuk mengembalikan kejayaan rempah-rempah. Tidak jadi adiktif," tambah Trubus.

Trubus mengatakan sebaiknya BNN tak perlu buru-buru dalam menetapkan larangan. Perlu dikaji lebih dalam. Dan menurutnya masih ada kesempatan untuk melakukan penelitian daun kratom tersebut.

Kebijakan lainnya yang perlu diperhatikan adalah kebijakan yang membela sisi petani. Apalagi, para petani hidup bergantung dengan hasil panen daun kratom tidak hanya seminggu atau dua minggu, tapi sudah bertahun-tahun. Penelitian yang lebih luas dan mempertegas status daun kretom sebagai hasil pertanian juga perlu dilakukan secara serius.

"Larangan BNN seharusnya dikaji dulu karena masuknya daun kratom sebagai golongan narkotika juga harus dipertanyakan. Apalagi dalam PP dan Permenkes pun belum ada," tutup Trubus.

*Baca Informasi lain tentang NARKOBA atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya