JAKARTA - Borderless, itulah kata paling tepat untuk mendeskripsikan pagelaran musik Re:creating God Bless - Soneta Group yang dihelat di Bengkel Space, SCBD pada Senin malam. Konser yang digagas Boss Creator ini bukan cuma peristiwa bersejarah, melainkan juga sebuah medium yang mempertontonkan aksi bagaimana musik tidak perlu lagi dibatasi oleh hal-hal sepele.
Entah kebetulan atau tidak, borderless, kata yang dalam bahasa Indonesia berarti 'tanpa batas' itu juga kerap kali terucap dari bibir penulis dan dua pengamat musik; Denny MR dan Mudya Mustamin yang hadir dalam acara ini. Sesungguhnya, tidak diskenariokan. Tapi, kata tersebut terus mengiringi langkah kami.
Semula berawal dari salah satu grup WhatApp yang kami huni. Seorang anggota mengomentari media ternama asal Inggris, NME yang mengutip artikel milik media online lokal, Musikeras. Artikel tersebut membahas single baru band metal asal Bandung, Burgerkill berjudul Roar of Chaos, dalam sebuah wawancara eksklusif bersama gitarisnya, Agung Hellfrog.
"Wuih, mantep...go international," komentar dia.
Padahal, saat ini, istilah go international sudah sangat rancu karena semua hal bisa diakses secara global. Kasarnya, kita buang air, direkam, lalu diposting di TikTok, otomatis jadi konsumsi publik mancangera. Ya, kita bisa dengan mudah mempromosikan, memamerkan, menyebarkan segala hal kepada khalayak dunia tanpa terhalang ruang dan waktu. Sudah tidak ada batasan alias borderless.
Usai membahas soal go international, penulis - bersama Mudya Mustamin - tiba di venue pada pukul 16.00 WIB. Kami mendapat undangan khusus dari pihak God Bless dan diminta tiba lebih awal agar tidak berdesakan dengan penonton saat masuk ke area pertunjukan. Padahal, kick-off konser masih berjarak empat jam lagi, lho.
Alhasil, kami memutuskan untuk singgah ke kedai kopi lebih dulu sambil menunggu Denny MR - relasi media dan 'orang dalam' God Bless - datang. Begitu formasi lengkap, sambil menyeruput kopi, kata borderless kembali terucap meskipun topik pembicaraan bukan lagi tentang go international.
Kami menyoal istilah 'band indie' dan 'band major' yang sering kali disematkan sebagian orang terhadap band-band favoritnya. Denny MR menyebut, istilah itu saat ini sudah tidak berlaku lagi karena industri musik mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Band yang bergerak secara independen, bisa saja jauh lebih besar ketimbang band yang justru dipagari label rekaman besar. Semua tergantung man behind the gun-nya. Intinya, indie serta major (non-indie) hanyalah sebuah payung. Tak heran, Barasuara pernah menolak kami wawancarai jika pembahasannya seputar indie dan non-indie.
Kopi habis, kami pun pergi ke backstage (belakang panggung) meskipun sesungguhnya posisi tempat para personel God Bless beristirahat itu ada di lantai atas yang posisinya tepat mengarah ke depan panggung. Setelah menyalami para personel God Bless, kami berbaur dan ngemil sambil ngalor-ngidul membahas istilah 'musisi ibu kota' dan 'musisi daerah' yang muncul pada zaman orde baru.
Seperti halnya istilah go international, band indie dan band major, dua istilah tadi juga sudah tidak relevan lagi digunakan pada masa sekarang. Faktanya, dalam kurun waktu 15 tahun ke belakang, musisi yang berdomisili di Jakarta justru berlomba-lomba tampil dalam event musik yang digelar di luar Pulau Jawa.
Bukti terpampang nyata karena kami pernah menghadiri pagelaran musik outdoor semacam Rock In Borneo (sebelumnya bernama Kukar Rockin' Fest) di Tenggarong, Rock In Celebes di Makassar, Rock In Solo, Bandung Berisik, JogjaROCKarta, dan Volcano Rock Festival di Boyolali. Entah berapa banyak band asal Jakarta yang berusaha mencari slot kosong agar bisa tampil dalam deretan event ini.
Lagi, kata borderless pun keluar dari mulut kami. Dulu, musisi asal daerah lah yang melakukan eksodus ke Ibu Kota. Kini, sudah tidak ada batas. Selama musik rock bergema, di situlah kejayaan musik keras berkibar. Tidak ada lagi batasan siapa musisi asal Jakarta atau siapa musisi asal daerah lain.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Venue yang menjadi tempat bersejarah tampilnya dua ikon musik Tanah Air, God Bless dan Soneta Group mulai dipenuhi penonton. Penuh dalam arti ukuran standar konser di era pandemi COVID-19.
God Bless tampil pertama. Formasi Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Abadi Soesman (kibor), Fajar Satritama (drum) dan Arya Setyadi (bass) - pengganti Donny Fattah yang mengalami masalah kesehatan - memecah kesunyian dengan lagu Kepada Perang, Menjilat Matahari, dan Cermin. Penuh distorsi!
Mau tahu apa yang dilakukan para penggemar Soneta Group saat Achmad Albar dkk melantunkan tiga lagu berikutnya; Syair Kehidupan, Panggung Sandiwara, dan Rumah Kita? Mereka ikut bernyanyi! Tak cuma itu, bendera Forsa (Fans of Rhoma and Soneta) bahkan dikibarkan oleh penonton di barisan depan saat lagu Kehidupan berkumandang. Tanpa batas!
Tiba saatnya Soneta Group tampil. Viva Dangdut didaulat sebagai pembuka. "Assalamualaikum," seru Bang Haji, sapaan Rhoma Irama. "Dut-ta-tang, dang-dut-ta-tang, dang dut-ta-tang, dang dut-ta-tang, dang-dang-dang tang-tang-tang, dang-dang-dang tang-tang-tang, dang-dut dang-tang-tang-tang, dang-dut dang-tang-tang-tang, dangdut suara gendang....." Penonton pun bergoyang dan bernyanyi.
Uniknya, para penggemar God Bless juga tidak beranjak dari tempat mereka berdiri. Pria-pria berambut gondrong dan berkaus "Semut Hitam" masih berada di posisi yang sama, persis di tempat mereka saat Achmad Albar memecah kebisuan venue lewat lagu Kepada Perang.
Di setiap sudut venue bahkan terlihat anak-anak muda dengan pakaian trendi, baik laki-laki maupun perempuan dengan parfum wangi, turut bergoyang menikmati setiap alunan nada yang keluar dari gitar Steinberger headless ikonik milik Rhoma Irama dan 15 orang pengiringnya termasuk empat penyanyi latar.
Setelah menyempilkan intro dan reff lagu Smoke on the Water milik Deep Purple dalam lagu Nafsu Serakah, Soneta Group menghidangkan sejumlah hits mereka termasuk Terajana, Judi, Mirasantika, Ani dan Darah Muda. Lalu encore, dan ditutup dengan Begadang. Penonton pulang, semua senang.
Jelas sekali. Tidak ada batas mana penggemar God Bless, mana penggemar Soneta Group. Tidak ada batas mana penyuka musik rock, mana pemuja musik dangdut. Tidak ada batas mana orang tua, mana anak muda. Semua menikmati tanpa terganjal stigma 'dangdut musik t** anj***' atau 'musik rock terompet setan'. Borderless alias tanpa batas.
Mengapa Harus God Bless dan Soneta Group?
Banyak orang lupa, atau mungkin belum tahu. God Bless dan Soneta Group adalah legenda. Mereka pembaharu, pelopor, ikon musik dan dua raja beda genre.
Pada tahun 1980, jauh sebelum Dream Theater, band panutan anak metal kekinian lahir, God Bless telah mengajarkan kepada khalayak musik Indonesia bagaimana memainkan musik rock progresif yang baik dan benar.
Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Donny Fattah (bass), Abadi Soesman (kibor), dan Teddy Sudjaya (drum) telah berjalan melampaui ruang dan waktu melalui lagu-lagu progresif rock berkualitas bintang lima semisal Musisi, Anak Adam dan tentu saja trek titel Cermin.
Cermin dibalut dalam rumusan rock yang njelimet, tapi terstruktur dengan mengutamakan unsur estetika apik dan penuh dinamika di sekujur tekstur lagu.
Jelas sekali, album ini diukir dengan visi totalitas berkarya atas nama idealisme para musisinya yang tidak bisa tergoda begitu saja oleh pundi-pundi uang milik cukong rekaman agar mereka ikut-ikutan menjual diri untuk menodai kebebasan berkaryanya. Sayangnya, master rekaman album ini rusak.
Atas permintaan para penggemar, God Bless merekam ulang dan merilis kembali album ini dengan tajuk Cermin 7 pada tahun 2016. Bersyukurlah wahai para pemuja musik rock Tanah Air, cawan suci rock and roll ini selamat dan hadir lagi dalam versi lebih segar dan nendang dengan tambahan tiga lagu anyar.
Sementara itu, pada era yang sama dengan kelahiran album Cermin versi orisinal, musik dangdut yang berasal dari pakem musik Melayu di tangan Rhoma Irama tampil lebih elegan. Dangdut tidak lagi didominasi suara tabla (instrumen khas India), tetapi raungan gitar ala gitaris Deep Purple, Ritchie Blackmore yang tidak terbantahkan menjadi subgenre musik baru.
Rhoma Irama menampilkan cita rasa gitar rock berdistorsi di nomor-nomor milik Soneta Group, sebut saja Begadang 2, Takwa, Judi dan Kiamat. Pengaruh solo gitar Blackmore atau lengkingan khas vokalis Ian Gillan terpampang nyata dalam karya-karya milik Bang Haji.
BACA JUGA:
Perseteruan Rock dan Dangdut yang Berujung Damai
Pada era 1970-an, musik dangdut yang diusung Rhoma Irama berkonfrontasi dengan musik rock yang saat itu tengah mewabah. Rolling Stones, Led Zeppelin, dan Deep Purple menjadi idola remaja dan membuat genre musik lain nyaris mati.
Rhoma Irama pun bersiasat. Demi menyaingi kepopuleran musik rock, orkes Melayu ia tetesi dengan DNA hard rock. Iramanya yang mendayu ia ganti dengan ketukan yang cepat dan bebunyian tabla digantikan instrumen drum. Hasilnya, publik menyambutnya dengan gegap gempita.
Namun, tidak demikian dengan para musisi rock. Salah satunya Benny Soebardja, pentolan band Giant Step, yang mencerca Rhoma Irama dengan menyebut dangdut 'musik ta* anj***'. Tak tinggal diam, Bang Haji membalas dengan menyebut musik rock 'terompet setan'.
“Soneta itu musik perang. Saat itu saya menegaskan, Soneta siap mati! Dulu kalau manggung salah tempat, batu dan sendal melayang ke arah saya. Rocker-rocker kerap naik ke panggung mengganggu konser kami. Kontak fisik juga pernah terjadi," kisah Rhoma Irama, dikutip dari majalah GitarPlus.
"Di Bandung, di tempatnya Giant Step saya juga pernah dilemparin batu. Tapi the show must go on! Begitu juga dengan rock, saat maen disambitin batu sama dangduter (sebutan Rhoma kepada para penggemar musik dangdut).”
Gencatan senjata antara musisi dangdut dan rock baru benar-benar tercapai pada 1977. Pengacara Japto Soerjosoemarno menjadi penengah, dia menantang Rhoma Irama 'berduel' dengan Achmad Albar dan God Bless-nya dalam konser bertajuk Damai di Ujung Tahun yang digelar di Senayan. Konser ini dihiasi pelepasan merpati sebagai simbol perdamaian.
Sejarah pun tergurat. God Bless dan Soneta Group tampil untuk kali pertama dalam satu panggung. Sejak itu, dangdut dan rock pun berdamai di mana delapan tahun kemudian konser bareng God Bless dan Soneta Group kembali dihelat di tempat yang sama dengan tajuk Apresiasi Musik Anak Muda 1985.
Kini, di tahun 2021, hat-trick konser God Bless dan Soneta Group telah tercipta. Sejarah digoreskan Raja Rock dan Raja Dangdut yang kembali tampil bersama setelah 36 tahun. Long live...long live...long live The Kings!