Sikap DPRD DKI terbelah dalam menilai usulan revisi Perda Penanggulangan COVID-19 yang sedang dalam pembahasan ini. Pimpinan DPRD mengaku setuju untuk menggolkan revisi perda. Hal ini diungkapkan Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi.
"DPRD Provinsi DKI Jakarta sepakat untuk memperkuat aturan mengenai ketaatan seluruh pihak dalam mematuhi pembatasan aktivitas dan protokol kesehatan," Prasetyo pada Rabu, 21 Juli.
Prasetyo menuturkan, sejumlah klausul dalam aturan ditambah dan diubah agar lebih kuat, khususnya dalam pemberian ancaman sanksi pada tiap-tiap pelanggaran, mulai dari kalangan atas sampai bawah.
"Revisi Perda ini bersifat darurat, demi kemanusiaan, demi kesehatan, dan demi keselamatan nyawa bersama," kata Prasetyo.
Sependapat, Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik bahwa DPRD akan menyetujui usulan perubahan yang menambahkan dua ketentuan dalam penanggulangan pandemi. Sebab, ia berharap, perubahan Perda COVID-19 dapat melandaikan kasus di Ibu Kota.
"Ini kan baru mau kita bahas. Insyaallah (DPRD) setuju karena ini untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan Jakarta ke depan, dan kesehatan masyarakat," tutur Taufik.
Taufik menyebut dokumen siap dibahas Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) dan ditargetkan selesai pada akhir Juli.
“Bapemperda DPRD DKI bersama eksekutif terkait akan segera mencermati dan menyampaikan hasilnya pada Paripurna, Kamis 29 Juli 2020 pukul 10.00 WIB,” kata Taufik pada Kamis, 22 Juli.
BACA JUGA:
Namun, sejumlah Anggota DPRD DKI menyatakan ketidaksetujuannya. Anggota DPRD DKI dari Fraksi NasDem, Wibi Andrino mengaku tidak setuju dengan penambahan pasal pidana bagi pelanggar protokol kesehatan di Jakarta dalam revisi Peraturan Daerah DKI Nomor 2 Tahun 2020.
Hal ini ia sampaikan dalam rapat pembahasan revisi Perda Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penanggulangan COVID-19 di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat.
Menurut Wibi, pengenaan pasal pidana sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, seperti yang menjerat Rizieq Shihab dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan.
"Apakah harus ditambahkan dengan bumbu-bumbu ini di dalam Perda kita? Apakah tidak cukup dengan adanya UU Karantina Kesehatan? Bapak Habib Rizieq, di dalam dakwaannya juga masuk dalam UU karantina," kata Wibi.
Wibi memandang, pemberian sanksi administratif kepada per-orangan maupun badan usaha yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan sudah cukup sebagai penegakan hukum. Katanya, pendekatan penanggulangan pandemi yang berkaitan langsung dengan masyarakat lebih baik bersifat persuasif.
Kemudian, Anggota DPRD Fraksi PDIP Agustina Hermanto atau yang akrab disapa Tina Toon turut menolak usulan penambahan sanksi pidana pelanggar protokol kesehatan.
"Pendekatan pidana (dalam revisi perda), saya menolak karena di saat kondisi kita seperti ini sangat tidak elok," kata Tina pada Kamis, 22 Juli.
Menurut Tina, penambahan sanksi pidana tidak memiliki sifat humanis. Sebab, sebagian masyarakat melanggar protokol kesehatan demi bisa makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Saudara-saudara kita yang memang melanggar juga terkadang karena masalah perut, karena tidak bisa bekerja seperti biasa, tidak mendapat pendapatan," ucap dia.
Tina meminta usulan sanksi pidana ini dikaji kembali oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI. Sebab, hukuman pidana bisa menjadi ancaman bagi warga yang sedang kesusahan akibat pandemi.
"Mohon dikaji kembali. Mungkin, ke depannya sanksi denda atau kerja sosial bisa ditambahkan, seperti kerja sosial yang lebih lama bagi yang tidak memakai masker," tutur Tina.
Diketahui, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menginginkan adanya pemberian sanksi pidana bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan selama pandemi dalam revisi Perda Nomor 2 Tahun 2020.
Dalam rancangan perubahan perda, Anies menambah dua pasal di antara Pasal 32 dan 33, yakni Pasal 32A dan 32B. Pasal ini menambahkan ancaman pidana.
Dijelaskan, apabila ada pelanggar yang mengulangi perbuatan tidak memakai masker setelah diberi sanksi kerja sosial dan administratif, maka akan dipidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda maksimal Rp500.000.
Selanjutnya untuk pelaku usaha seperti perkantoran, industri, perhotelan, transportasi, hingga rumah makan yang mengulangi perbuatan pelanggaran protokol kesehatan dan telah mendapat hukuman pencabutan izin, maka akan dijatuhkan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda maksimal Rp50.000.000.