Bagikan:

JAKARTA - Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah ditandatangani. Adanya pedoman ini diharapkan penegakan hukum terkait perundangan tersebut tak lagi multitafsir dan menjamin rasa keadilan masyarakat sambil menunggu rancangan revisi masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Penandatanganan ini dilakukan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin pada hari ini atau Rabu, 23 Juni yang dengan agenda tertutup.

"Sambil menunggu revisi terbatas, pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat," kata Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD melalui keterangan tertulisnya, Rabu, 22 Juni.

Mahfud yang menyaksikan penandatanganan tersebut mengatakan, pedoman implementasi ini telah menyerap aspirasi masyarakat dari diskusi yang telah diadakan sebelumnya.

"(Pedoman, red) ini dibuat setelah mendengar dari para pejabat terkait, dari kepolisian, Kejaksaan Agung, Kominfo, masyarakat, LSM, kampus, korban, terlapor, pelapor, dan sebagainya, semua sudah diajak diskusi, inilah hasilnya," ungkap eks Ketua Mahkamah Konstusi (MK) tersebut.

Pada prinsipnya, sambung Mahfud, pedoman ini merespons suara masyarakat yang kerap menyebut UU ITE itu seringkali memakan korban karena mengandung pasal karet dan menimbulkan kriminalisasi juga diskriminasi.

"Tadi kami berempat, saya Menko Polhukam, Menkominfo, kemudian Jaksa Agung, kemudian Kapolri, menindaklanjuti keputusan rapat kabinet internal tanggal 8 Juni 2021 kemarin, yang memutuskan tentang: satu, rencana revisi terbatas UU ITE, kemudian yang kedua tentang pedoman implementasi beberapa pasal UU ITE, pasal 27, 28, 29, 36," ungkap Mahfud.

Melengkapi pernyataan Mahfud, Menkominfo Johnny G Plate berharap pedoman implementasi UU ITE ini dapat mendukung penegakan perundangan yang mengedepankan penerapan restorative justice. 

Sehingga, masalah yang berkaitan dengan UU ITE dapat dilakukan tanpa harus menempuh mekanisme peradilan.

"Untuk menguatkan posisi ketentuan peradilan pidana sebagai ultimum remedium atau pilihan terakhir dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Pedoman penerapan ini berisi penjelasan terkait definisi, syarat, dan keterkaitan dengan peraturan perundangan lain, terhadap pasal yang sering menjadi sorotan masyarakat," ungkap Johnny.

Selanjutnya, usai implementasi tersebut ditandatangani, sosialiasi terhadap aparat penegak hukum akan dilakukan secara masif dan berkesinambungan.

Berikut lampiran SKB Pedoman Implementasi UU ITE:

a. Pasal 27 ayat (1) fokus pada pasal ini adalah pada perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya, bukan pada perbuatan kesusilaan itu. Pelaku sengaja membuat publik bisa melihat atau mengirimkan kembali konten tersebut.

b. Pasal 27 ayat (2) fokus pada pasal ini adalah pada perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya konten perjudian yang dilarang atau tidak memiliki izin berdasarkan peraturan perundang-undangan.

c. Pasal 27 ayat (3) fokus pada pasal ini adalah:

1. Pada perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan maksud mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum.

2. Bukan sebuah delik pidana jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, juga jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

3. Merupakan delik aduan sehingga harus korban sendiri yang melaporkan, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.

4. Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik jika konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas.

5. Jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE, kecuali dilakukan oleh institusi Pers maka diberlakukan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

d. Pasal 27 ayat (4) fokus pada pasal ini adalah perbuatan dilakukan oleh seseorang ataupun organisasi atau badan hukum dan disampaikan secara terbuka maupun tertutup, baik berupa pemaksaan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum maupun mengancam akan membuka rahasia, mengancam menyebarkan data pribadi, foto pribadi, dan/atau video pribadi.

e. Pasal 28 ayat (1) fokus pada pasal ini adalah pada perbuatan menyebarkan berita bohong dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring dan tidak dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atau mengalami force majeur. Merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya.

f. Pasal 28 ayat (2) fokus pada pasal ini adalah pada perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu/kelompok masyarakat berdasar SARA. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu/kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan.

g. Pasal 29 fokus pada pasal ini adalah pada perbuatan pengiriman informasi berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi atau mengancam jiwa manusia, bukan mengancam akan merusak bangunan atau harta benda dan merupakan delik umum.

h. Pasal 36 fokus pada pasal ini adalah kerugian materiil terjadi pada korban orang perseorangan ataupun badan hukum, bukan kerugian tidak langsung, bukan berupa potensi kerugian, dan bukan pula kerugian yang bersifat nonmateriil. Nilai kerugian materiil merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.