Bagikan:

JAKARTA - Menko Polhukam Mahfud MD mengingatkan semua elemen bangsa untuk menumbuhkan kesadaran kolektif agar menjauhi praktik korupsi.

Di mana, kata dia, pada era pasca reformasi, korupsi sangat meluas dan perguruan tinggi menjadi salah satu terdakwa utamanya. Pasalnya, para koruptor umumnya adalah lulusan perguruan tinggi.

“Karena itu, rektor di perguruan tinggi, harus memperhatikan ini," ujar Mahfud saat memberi sambutan pada pelantikan Dr. Makmun Murad sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Selasa, 25 Mei.

Pada 2017 lalu, Mahfud mengaku sudah mengatakan bahwa korupsi era reformasi lebih meluas dari era Orde Baru. Meski jaman Orde Baru terjadi korupsi besar-besaran, tapi terkonsentrasi dan diatur melalui jaringan koorporatisme oleh pemerintahan Soeharto.

“Korupsinya dulu dimonopoli di pucuk eksekutif dan dilakukan setelah APBN ditetapkan. Ini tak bisa dibantah, buktinya Orde Baru direformasi dan pemerintahan Soeharto secara resmi disebut pemerintahan KKN. Penyebutan itu ada di Tap MPR, UU, kampanye politisi, pengamat, disertasi, tesis, dan sebagainya” jelas Mahfud.

Namun diakui Mahfud, setelah reformasi, korupsi justru makin meluas. Atas nama demokrasi yang diselewengkan, korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif tetapi sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif dan secara vertikal dari pusat sampai ke daerah-daerah.

“Lihat saja para koruptor yang menghuni penjara sekarang, datang dari semua lini horizontal maupun vertikal” kata guru besar hukum Universitas Islam Indonesia itu.

Kalau dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan Pemerintah, sambungnya, sekarang ini sebelum APBN dan APBD jadi sudah ada nego-nego proyek untuk APBN dan APBD. 

 

Menteri Pertahanan era Gus Dur ini menengarai, banyak yang masuk penjara lantaran jual beli APBN dan Perda. “Saya bisa menunjuk bukti dari koruptor yang di penjara saja” tegasnya.

Dikatakan Mahfud, Pemerintah tidak mudah untuk menindak karena di dalam demokrasi, tidak bisa lagi mengonsentrasikan tindakan dan kebijakan di luar wewenangnya. Itulah sebabnya, Mahfud mengaku paham dengan istilah “demokrasi kriminal” yang pernah dilontarkan oleh Rizal Ramli.

“Situasi ini perlu kesadaran moral secara kolektif, sebab tak satu institusi pun yang bisa menembus barikade demokrasi yang wewenangnya sudah dijatah oleh konstitusi” katanya.

Karena itu, menurutnya, kunci penyelesaiannya tak cukup hanya dengan aturan-aturan atau jabatan. Sebab aturan dan jabatan dibuat melalui apa yang diasumsikan sebagai keharusan demokrasi. 

 

“Jika para aktor demokrasinya bermoral bobrok maka produk hukum dan pelaksanaannya pun akan bobrok. Hukum itu kan sangat ditentukan oleh moral para aktornya. Itulah tugas kita ke depan” tuturnya.

Mahfud menambahkan, demokrasi tetap yang terbaik. Akan tetapi perlu ditata ulang dengan keluhuran moral para aktornya agar yang tumbuh adalah demokrasi substansial, bukan demokrasi kriminal.

 

“Ada dalil yang menyatakan bahwa dalam arti tertentu hukum adalah produk politik, jika moralitas politik bagus maka hukum dan penegakannya akan bagus. Tapi jika moralitas politik jelek maka hukum dan penegakannya juga akan jelek” demikian Mahfud.