Di Atas Kereta Api dan Trem: Kaum Bumiputra Disamakan dengan Hewan Ternak
JAKARTA - Perkembangan transportasi umum acap kali dikenal sebagai simbol kemajuan zaman. Kehadiran kereta api dan trem di Hindia Belanda, misalnya. Keduanya jadi transportasi umum paling menganggumkan. Ekonomi Hindia Belanda meningkat tajam karenanya. Namun, kehadiran kereta api dan trem justru melanggengkan narasi rasisme dan diskriminasi. Gerbong untuk kaum bumiputra ditempatkan pada kelas paling hina: kelas kambing. Artinya kaum bumiputra disetarakan tak lebih dari hewan ternak.
Fase awal kolonialisme Belanda jauh dari kata modern. Alat angkutannya masih mengandalkan tenaga kuda. Kendaraan berkuda itu jadi andalan orang Eropa beraktivitas sehari-hari. Dari pergi bekerja hingga berpesta.
Jalan-jalan di kota besar, termasuk Batavia masih begitu luang. Tidak ada denyut kemacetan. Pemandangan jalanan hanya didominasi oleh kereta kuda yang lalu lalang. Itupun jarang-jarang. Sado dan delman jadi kereta kuda beroda dua yang paling banyak dijumpai. Karena itu, orang-orang mengenang zaman tersebut sebagai zaman kuda gigit besi.
Boleh jadi kereta kuda adalah andalan transportasi dalam jarak dekat. Tapi tidak untuk jarak jauh. Perjalanan jauh dengan kereta kuda dapat memakan waktu lebih lama, alias berhari-hari. Sebab, kuda juga butuh istirahat. Kelemahan itu diakui oleh segenap penduduk dari era maskapai dagang Belanda VOC, hingga masa pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Raja Belanda Williem I pada 1842 mengamini hal itu. Menurutnya, Hindia Belanda membutuhkan transportasi yang mampu mempersingkat waktu dan jarak. Demi keuntungan melimpah, pikirnya. Ia mencoba mengadopsi kemajuan zaman dengan mencanangkan dekrit kereta api pertama di negeri koloni.
“Sebetulnya, dibutuhkan 25 tahun, setelah dekrit kereta api pertama dari raja untuk Hindia Belanda untuk membangun rel besi 25 kilometer yang pertama di tanah jajahan itu, dan dibutuhkan 10 tahun lagi untuk membangun 300 kilometer berikutnya semuanya di Jawa. Dengan langkah-langkah berat dan lambat, bukan dengan nyaman sebagaimana disarankan oleh Majalah Kopiist, kereta api di Hindia Belanda akhirnya muncul.”
“Pada tahun 1882, menurut kata-kata sebuah komisi khusus dari Indisch Genootschap yang terpelajar: kereta api dan ‘rel-rel kereta kecil,’ yakni trem-trem, juga di Hindia Belanda, terbukti merupakan yang paling bermanfaat dari temuan-temuan sekarang ini, kemenangan paling mengagumkan oleh manusia atas waktu dan jarak, insentif paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban,” ungkap Rudolf Mrazek dalam buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).
Keberhasilan kereta api justru memantik berdirinya transportasi umum lain di Hindia Belanda. Trem kuda salah satu buahnya. Kehadiran trem jadi solusi terbatasnya ketersediaan transportasi umum di kota-kota besar. Trem kuda lalu mulai dibangun pada 10 Agustus 1867. Setelahnya, trem kuda menjelma sebagai transportasi massal yang efektif, efesien, cepat, dan murah.
Uniknya, material-material untuk pembangunan trem beserta jalurnya tak hanya di produksi di Belanda ataupun Jawa saja. Pemerintah kolonial Belanda turut melibatkan pabrik di Prancis untuk mendatangkan material. Alhasil, dua tahun setelahnya trem kuda diresmikan di Batavia pada 20 April 1869. Trem uap lalu menyusul setelahnya.
“Sebelum ada trem uap ini, sudah ada trem yang ditarik oleh kuda. Trem uap ini memulai sejarahnya tahun 1881. Perusahaan Duemmler yang mengusahakan trem kuda, mendapat konsesi untuk menggelola trem uap dengan modal pertama sebesar 1.150.000 gulden.”
“Mula-mula mereka memanfaatkan jalan trem kuda yang kemudian berangsur-angsur diganti sampai rampung tahun 1884. Untuk peremajaan itu, perusahaan baru yang dibentuk dengan nama Nederlandsch-Indische Tramweg Maatshappij (NITM) mesti mendapat pinjaman 150 ribu gulden dari beberapa perusahaan di Amsterdam,” tertulis dalam buku Ketoprak Betawi (2001).
Rasisme di transportasi umum
Kemajuan transportasi umum di Batavia nyatanya tak dibarengi oleh kemajuan berpikir. Orang Belanda kerap menganggap mereka adalah warga istimewa. Mereka selalu menempatkan rasnya sebagai warga kelas satu. Sedang mereka di luar orang Eropa, dianggap warga negera kelas dua. Dan yang terburuk kaum bumiputra kerap ditempatkan pada strata paling rendah.
Wujud diskriminasi dan rasisme itu muncul dalam sistem pembagian kelas, baik di dalam kereta api atau trem. Pembagian kelas dilakukan dengan perbedaan tarif. Kelas satu dikhususkan penumpang yang didominasi orang-orang Eropa.
Kelas dua didominasi penumpang yang berasal dari orang-orang timur asing, seperti orang China, Arab, dan India. Terakhir, kelas tiga yang diperuntukkan untuk kaum bumiputra. Lazimnya kelas tiga ini dikenal luas dengan “kelas kambing.” Artinya kaum bumiputra disetarakan tak lebih dari hewan ternak.
“Padahal sesuai dengan peraturan perkeretaapian yang ditetapkan oleh Staatspoor-Wegen sebagai perusahaan kereta api negara, penumpang kereta api dibagi menurut tinggi rendahnya status sosial, kemampuan ekonomi, dan warna kulit penanda etnisitasnya.”
“Untuk gerbong kelas satu hanya khusus diperuntukan bagi warga elit kulit putih Eropa; untuk gerbong kelas dua diperuntukan bagi orang-orang Indo berpendapatan rendah, orang-orang Timur Asing Cina dan Arab, serta pribumi kelas atas; sedangkan untuk gerbong kelas tiga diperuntukkan bagi rakyat jelata pribumi (kleine man) yang disebut sebagai kelas kambing (yang menyetarakan pribumi jelata dengan hewan kambing),” terang Bedjo Riyanto dalam buku Siasat Mengemas Nikmat (2019).
Keadaan itu jelas tak adil. Padahal, kaum bumiputra jelata justru yang menjadi penumpang terbanyak dari kereta api maupun trem. Prahara kelas itu menimbul sakit yang amat dalam bagi kaum bumiputra. Tuan-tuan kulit putih itu pun secara langsung merendah martabat kaum bumiputra, terutama karena kaum kaum bumiputra sering dinarasikan sebagai manusia bodoh dan malas.
Ejekan itulah yang membuat banyak tokoh bangsa terbakar amarahnya. Tjipto Mangoenkoesoemo jadi yang paling menonjol. Ia sering menyampaikan protesnya kepada Belanda. ia menyangsikan perlakuan diskriminatif Belanda kepada kaum bumiputra ketika naik kereta api. Sosok yang sering dipanggil Om Tjip oleh Soekarno itu lalu mencoba menghina Belanda dengan cara membelikan tiket kelas satu kepada seorang pengemis. Imbasnya, orang Eropa merasa sehina-hinanya manusia.
“Pada suatu ketika secara sengaja Tjipto datang di sebuah setasiun menjelang datangnya kereta cepat yang khusus untuk orang kulit putih. Segera setelah kereta api masuk di stasiun tersebut, Tjipto segera pula membeli karcis dan karcis kereta api itu diberikan kepada seorang pengemis dengan pakaiannya yang compang-camping.”
“Disuruhnya pengemis tadi cepat-cepat naik kereta api itu. Karuan saja noni-noni dan sinyo-sinyo serta orang-orang kulit putih di kereta api itu berteriak-teriak memaki-maki serta timbul hiruk-pikuk. ltulah keberanian Cipto yang mengandung unsur eksentrik serta humor, dalam protesnya terhadap kesombongan penjajah,” tutup Soegeng Reksodihardjo dalam buku DR. Cipto Mangunkusumo (1992).
Baca Juga: